Istilah
paradigma pada
awalnya berkembang dalam filsafat ilmu pengetahuan. Secara terminologis tokoh
yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas
S. Khun dalam bukunya yang berjudul “The Structure Of Scientific Revolution”,
paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan teoritis yang umum (merupakan
suatu sumber nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum, metode serta
penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta
karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam ilmu-ilmu sosial manakala suatu teori yang
didasarkan pada suatu hasil penelitian ilmiah yang mendasarkanpada metode
kuantitatif yang mengkaji manusia dan masyarakat berdasarkan pada sifat-sifat
yang parsial, terukur, korelatif dan positivistik, maka hasil dari ilmu
pengetahuan tersebut secara epistemologis hanya mengkaji satu aspek saja dari
obyek ilmu pengetahuan yaitu manusia. Dalam masalah yang populer istilah
paradigma berkembang menjadi terminologi yang mengandung konotasi pengertian
sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asasserta tujuan dari
suatu perkembangan, perubahan serta proses dari suatu bidang tertentu termasuk
dalam bidang pembangunan, reformasi maupundalam
pendidikan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam
melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma,
artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka
acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di
Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa
Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional.
Hal
ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara
Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia
maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai
dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia
menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis
tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a. susunan kodrat
manusia terdiri atas jiwa dan raga
b. sifat kodrat
manusia sebagai individu sekaligus social
c. kedudukan kodrat
manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan
harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan
aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan
manusia secara totalitas.Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat
dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan
dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan.
1.
Pancasila
Sebagai
Paradigma Pembangunan
Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau
pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat
manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek
harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai
pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar
hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila
IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada
asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara
berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral
kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku
politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas
dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan
bermoral.
Pancasila
sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila
bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan
dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya
dapat dilihat secara berurutan-terbalik :
· Penerapan
dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
· Mementingkan
kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
· Melaksanakan
keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep
mempertahankan persatuan;
· Dalam
pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan
beradab;
· Tidak
dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan
(keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu
direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup
masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat
industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai
sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah :
· nilai
toleransi;
· nilai
transparansi hukum dan kelembagaan;
· nilai
kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
· bermoral
berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
2. Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan
pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara
khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I
Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang
mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku
makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan.
Sistem
ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang
hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain.
Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem
sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu. Pancasila bertolak dari
manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem
ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang
bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang
berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan
kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari
nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan
ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas,
monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan,
ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara. Pancasila
sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat
Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem
Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan
Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem
Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam
Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar
kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan perekonomian
nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang
seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat).
Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan
pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha
menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional.
Oleh
sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi
Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit pemerintah daerah
di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan
dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan
demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam
berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis
berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi
warga atau meningkatkan kepastian hukum.
3. Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada
hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat
dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam
sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial
budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi
manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan
manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan
dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup
sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat
kemanusiaannya.
Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human.
Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas
dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di
seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai
bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan
sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan
diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak
menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan
berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan
dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak
negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara
berimbang (Sila Kedua).
Hak
budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara
dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang
sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman
kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah
pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah
dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga
ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan
dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila
dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai
puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan -
kebudayaan di daerah :
· Sila
Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan
komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa;
· Sila
Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara
Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun
golongannya;
· Sila
Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat
majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa
yang berdaulat;
· Sila
Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat
majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini
sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan
kepentingan perorangan;
· Sila
Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang
membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
4. Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa
tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi
juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem
pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa.
Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan
dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem
pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan
sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah
dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk
menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa
dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada
kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan
sendiri.
Sistem
ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan
dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah
pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan
pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam
UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan
pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Dengan
ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya
terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu :
· adanya
perlindungan terhadap HAM,
· adanya
susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan adanya pembagian dan
pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar. Sesuai dengan UUD
1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan
bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan
yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya,
Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan
dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU dan
peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila -
sila Pancasila dasar negara). Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai
paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan
sila-sila :
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab,
3. Persatuan
Indonesia,
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan
demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau
penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk
hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan
merupakan perwujuan aspirasi rakyat).
Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak
dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi
cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah
Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku,
etnis, bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi
kemerdekaan Republik Indonesia kita.
Namun
akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena
ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa
yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini
karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di
Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga
apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka
seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Paradigma
toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama
perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut :
· Semua
umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan
wahidah).
· Hubungan
antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas
lain didasarkan atas prinsip-prinsi :
1. Bertentangga
yang baik
2. Saling membantu
dalam menghadapi musuh bersama
3. Membela mereka
yang teraniaya
4. Saling
menasehati
5. Menghormati
kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan :
1. Persamaan hak
dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan
atas suku dan agama;
2. pemupukan
semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah
bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis
dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya,
mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada
bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi
kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai
nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka
pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi. Dalam beberapa tahap dan
kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak kita
temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar masayarakat.
Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku,
“Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga”
di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama
dalam masyarakat.
Ke
depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang
saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog
Vertikal. Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi
dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan
pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen.
Identitas
indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia
berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda
mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang
berbudaya.
5. Pancasila
sebagai paradigma pengembangan sosial budaya
Dalam pembangunan pengembangan aspek social budaya
hendaknya didasarkan atas system nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya
yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Terutama dalam rangka bangsa Indonesia
melakukan reformassi di segala bidang dewasa ini. Sebagai anti klimaks proses
reformasi dewasa ini sering kita saksikan adanya stagnasi nilai social budaya
dalam masyarakat sehingga tidak mengherankan jikalau diberbagai wilayah
Indonesia saat ini terjadi berbagai macam gejolak yang sangat memprihatinkan
antara lain amuk masa yang cenderung anarkis,bentrok antara kelompok masyarakat
satu dengan lainnya yang muaranya adalah pada masalah politik.
Oleh karena itu dalam pengembangan social budaya pada masa reformasi dewasa ini
kita harus mengangkat nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai dasar
nilai yaitu nilai-nilai pancasila itu sendiri. Dalam prinsip etika pancasila
pada hakikatnya bersifat humanistic,artinya nilai—nilai pancasila mendasarkan
pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang
berbudaya. Terdapat rumusan dalam sila kedua pancasila yaitu”kemanusiaan yang
adil dan beradab”.
Dalam rangka pengembangan social budaya, pancasila merupakan sumber normative bagi
peningkatan humanisasi dalam bidang social budaya. Sebagai kerangka kesadaran,
pancasila dapat merupakan dorongan untuk universalisasi yaitu melepaskan
symbol-simbol dari keterkaitan struktur, dan transendentalisasi yaitu
meningkatkan derajat kemerdekaan, manusia, kebebasan spiritual
(Koentowijiyo,1986). Dengan demikian maka proses humanisasi universal akan
dehumanisasi serta aktualisasi nilai hanya demi kepentingan kelompok social
tertentu sehingga menciptakan system social budaya yang beradab.
Dalam proses reformasi dewasa ini sering kita saksikan gejolak masyarakat yang
jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Hal ini sebagai akibat
perbenturan kepentingan politik demi kekuasaan sehingga masyarakat sebagai
elemen infrastruktur politik yang melakukan aksi sebagai akibat akumulasi
persoalan-persoalan politik. Anehnya suatu aksi yang tidak beradab,tidak
manusiawi dan tidak human tersebut senantiasa mendapat aklamasi politis dari
kalangan elit politik sebagai tokohnya. Demikian pula meningkatnya fanatisme
etnis di berbagai daerah mengakibatkan lumpuhnya keberadaban masyarakat. Oleh
karena itu suatu tugas yang maha berat bagi bangsa Indonesia pada pasca
reformasi ini untuk mengembangkan aspek social budaya dengan berdasarkan
nilai-nilai pancasila yang secara lebih terinci berdasarkan nilai-nilai
kemanusiaan, nilai ketuhanan serta nilai keberadaban.
Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua
macam yaitu aktualisasi obyektif dan subyektif. Aktualisasi Pancasila obyektif
yaitu aktualisasi Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan yang
meliputi kelembagaan Negara antara lain legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Selain itu juga meliputi bidang-bidang aktualisasi lainnya seperti politik,
ekonomi, hukum terutama dalam penjabaran ke dalam undang-undang, GBHN,
pertahanan keamanan, pendidikan maupun bidang kenegaraan lainnya.
Adapun aktualisasi Pancasila subyektif adalah
aktualisasi Pancasila pada setiap individu terutama dalam aspek moral dalam
kaitannya dengan hidup negara dan masyarakat. Aktualisasi yang subyektif
tersebuttidak terkecuali baik warga negara biasa, aparat penyelenggara negara,
penguasanegara, terutama kalangan elit politik dalam kegiatan politik perlu
mawas diri agarmemiliki moral Ketuhanan dan Kemanusiaan sebagaimana terkandung
dalam Pancasila.
Dari pembahasan diatas, dapat kami simpulkan bahwa pembangunan yang didasarkan
pada nilai – nilai Pancasila diarahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat
manusia yang meliputi aspek jiwa, raga, pribadi, sosial, dan aspek kebutuhan.
Pancasila merupakan jiwa bangsa Indonesia yang tidak dapat tergantikan
oleh Ideologi bangsa lain. Aspek Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan,
dan keadilan merupakan landasan setiap manusia Indonesia untuk berkehidupan di Indonesia
maupun di mana mereka berada.
Adapun saran yang bisa kami paparkan dari
makalah ini yaitu sebaiknya kita lebih mempelajari dan memahami pancasila lebih
dalam lagi agar kita tidak menyimpang dari nilai – nilai pancasila yang
merupakan asas Indonesia.
Refrensi :